Frekuensi Jurnalisme Radio Bersama Hilman Handoni, Seorang Jurnalis Radio

1

Jumat (6/12), Program Studi Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta kembali mengadakan kelas teori dan aplikasi jurnalistik. Kali ini mahasiswa akan dikenalkan pada jurnalisme radio yang tentunya berbeda dengan jurnalisme televisi atau media daring. Sebagai media yang bersifat audio, berita yang ditayangkan mudah dilupakan pendengarnya, tetapi dapat menimbulkan daya imajinatif yang tinggi. Untuk menjadi jurnalis radio, seseorang harus memiliki kemampuan membaca dan menyampaikan secara baik agar pembaca tidak cepat bosan. “Kalian bisa melatih kemampuan membaca dan menyampaikan berita dengan cara senam wajah dan olah vokal, hal tersebut penting supaya pembaca tidak bosan”, tutur Hilman Handoni.

Kelas teori dan aplikasi jurnalistik pada hari itu mendatangkan Hilman Handoni dari KBR (Kantor Berita Rakyat). Dia adalah orang yang telah berkecimpung dalam dunia jurnalisme radio. Menurutnya, selain harus bisa memiliki cara penyampaian yang khas, seorang jurnalis radio harus mampu mengatur frekuensi dan memenggal percakapan agar sesuai saat didengar.

Kesulitan menjadi jurnalis radio adalah saat siaran langsung, jika terjadi kesalahan tidak bisa diperbaiki. Siaran harus tetap berlangsung walau ada kesalahan. Hal tersebut sama seperti siaran langsung pada televisi.

Meski radio dianggap sudah tidak terlalu efektif di zaman ini, Hilman Handoni mengatakan bahwa radio harus selalu mengikuti perkembangan zaman agar tidak ditinggalkan. “Kita bisa menyajikan siaran secara daring supaya orang bisa mendengarkan ulang siaran tersebut. Selain itu kita juga membuat berbagai akun sosial media untuk mengimbangi perkembangan zaman,” ucapnya.

Hilman Handoni juga membuka kesempatan bagi mahasiswa yang ingin magang di kantornya.  Dia sangat senang apabila ada orang yang ingin belajar mengenai radio secara lebih mendalam.