FAKULTAS BAHASA DAN SENI
Cerdas, Bermartabat, Unggul
PBSI UNJ MEMPERSEMBAHKAN PERTUNJUKKAN KESENIAN BETAWI: MERAWAT WARISAN, MENYEMAI CINTA BUDAYA

Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta (FBS UNJ) kembali menunjukkan dedikasinya dalam menjaga dan merawat kebudayaan daerah, khususnya budaya Betawi, melalui gelaran Pertunjukan Kesenian Betawi yang diselenggarakan pada Selasa, 8 Juli 2025. Acara ini merupakan bagian dari Ujian Akhir Semester mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Mata Kuliah Kajian Bahasa dan Budaya Betawi. T idak sekadar menjadi ajang akademik, pertunjukan ini juga menjadi sarana penting bagi mahasiswa untuk menggali, memahami, dan mempresentasikan kekayaan budaya Betawi kepada publik dengan pendekatan yang kreatif dan kolaboratif.

 

Acara diawali dengan persembahan Palang Pintu sebagai simbol pembuka yang sarat makna filosofis dan religius dalam tradisi Betawi. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan sambutan oleh Drs. Sam Muchtar Chaniago, M.Si. selaku dosen pengampu Mata Kuliah Kajian Bahasa dan Budaya Betawi, Dr . Edi Puryanto, M.Pd. selaku Koordinator Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNJ, dan Dr. Samsi Setiadi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Bahasa dan Seni UNJ.

 


Sambutan utama datang dari Bapak Farza Elvinra, M.Pd. sebagai perwakilan dari Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Beliau menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya terhadap pelaksanaan kegiatan ini. Dalam sambutannya, beliau menyatakan bahwa UNJ, khususnya Fakultas Bahasa dan Seni, memiliki posisi strategis sebagai garda terdepan pelestarian budaya Betawi di tengah arus modernitas yang kian deras. Maka, para mahasiswa yang merupakan bagian dari generasi Z inilah yang akan meneruskan pelestarian budaya Betawi. Beliau juga menyinggung kolaborasi Dinas Kebudayaan DKI Jakarta dengan Fakultas Bahasa dan Seni yang telah berjalan. Para mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni sangat berpeluang untuk magang di Dinas Kebudayaan.

 


Setelah sambutan, rangkaian acara dilanjutkan dengan beragam pertunjukan seni dan budaya oleh para mahasiswa. Mulai dari alunan musik Gambang Rancag hingga pertunjukan busana Betawi yang menampilkan beragam jenis pakaian tradisional khas Betawi. Pakaian tradisional Betawi yang diperagakan antara lain pakaian pengantin laki-laki yang menggunakan jube berwarna merah lengkap dengan selendang membentang dari bahu kiri ke kanan yang menyimbolkan kebaikan dilengkapi dengan topi alfi dengan bunga melati yang menjuntai sebagai lambang menjaga pandangan dari lawan jenis.

 


Selain itu, terdapat pula pakaian tradisional Betawi untuk perempuan berupa baju kurung model kembang, rokkun model naga, hiasan delime, siangko besar , sedang, dan kecil, cadar bunga melati yang bermakna perempuan harus menjaga kesuciannya, lalu hiasan kepala berbentuk melati dengan sisir 5 dan tusuk bunga 5 yang melambangkan rukun Islam, tusuk lam 1 yang melambangkan T uhan itu maha esa, bunga paku 10 yang disebar di kepala sebagai penolak bala, kembang goyang 16, bunga kelapa 2 kanan kiri, kembang rumput 2 kanan kiri. Jumlah total hiasan kepala tersebut adalah 20 yang menjadi simbol atas pengakuan kita terhadap kebesaran dan 20 sifat Allah dalam ajaran Islam. T erdapat pula hiasan kepala burung Hong yang merupakan bentuk akulturasi kebudayaan China.

 

Di samping menampilkan pakaian pengantin tradisional Betawi, ditampilkan pula pakaian none yang khusus dikenakan gadis Betawi yang belum menikah. Pakaian untuk none biasanya berbahan kain chiffon dengan lengan yang tembus pandang (sipon nerawang). Pada ujung lengan baju, terdapat kancing dengan jumlah 6 untuk gadis dewasa dan 5 kancing untuk anak-anak. Pakaian dalam untuk none juga beragam. T erdapat kutang nenek dan kain lasem tumpal tombak serta pending sebagai ikat pinggang. Aksesoris pelengkap biasanya berupa selendang yang dikenakan di kepala dan dipercantik dengan perhiasan peniti 3 rante. Selain itu, ada juga kebaya bernama krancang. Tak hanya menampilkan sisi estetika, parade busana ini juga menjadi wahana edukasi yang menggugah kesadaran akan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya Betawi.

 

 

Tidak kalah menarik, mahasiswa lainnya turut mempersembahkan karya kreatif mereka seperti pembuatan ondel-ondel laki-laki dan perempuan lengkap dengan penjelasan warna dan simbolismenya. Ondel-ondel merah adalah pria yang pemberani dan ondel-ondel putih adalah pria yang suci. T idak hanya menampilkan peragaan busana tradisional dan demosntrasi pembuatan ondel-ondel, mahasiswa juga menyajikan kuliner tradisional Betawi seperti bir pletok, kue care, dan sayur babanci yang dibalut dalam sebuah drama. Penampilan lainnya menghadirkan “Sohibul Hikayat”, sebuah pertunjukan bertutur yang mengangkat kembali tradisi lisan Betawi dalam bentuk narasi jenaka, penuh pesan moral, dan dikemas dengan gaya khas rakyat Jakarta tempo dulu.

 

Acara ini juga mengajak seluruh hadirin untuk bernostalgia melalui permainan tradisional Betawi seperti caca gulali, cici putri, kulabang, tuktuk gene, tokadal, dan peletokan—permainan yang dahulu akrab di kalangan anak-anak Betawi, kini dikenalkan kembali agar tidak punah termakan zaman.

 

 

Sebagai penutup, Dr . Tuti Tarwiyah Adi Sam, M.Si. selaku dosen mata pengampu mata kuliah turut menyampaikan rasa bangga terhadap kerja keras mahasiswa yang telah menampilkan seluruh rangkaian acara dengan penuh semangat dan tanggung jawab. Beliau berharap kegiatan semacam ini dapat menjadi agenda rutin yang tidak hanya melibatkan mahasiswa, tetapi juga menggandeng masyarakat luas dan pihak-pihak strategis dalam pelestarian budaya. Beliau juga menjelaskan bahwa adanya Mata Kuliah Kajian Bahasa dan

 

 

Melalui kegiatan ini, Fakultas Bahasa dan Seni UNJ menunjukkan bahwa pelestarian budaya bukan sekadar tugas institusi kebudayaan, tetapi juga bagian dari tanggung jawab akademik dan moral civitas academica. Mahasiswa tidak hanya menjadi pelajar , tetapi juga pelestari—yang belajar untuk mencintai, memahami, dan menyuarakan identitas budayanya sendiri.

 


Budaya Betawi bertujuan untuk membekali mahasiswa yang merupakan calon guru agar dapat melestarikan budaya Betawi di kalangan pelajar ketika mengajar nanti.
Penulis: JO