Pada 22 April 2021 pukul 12.40 s.d. 14.30 WIB, Kajian Bahasa dan Budaya Betawi Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta, menyelenggarakan seminar ketujuh dengan mengundang narasumber terakhir, Kepala Badan Penyelenggaraan Budaya Betawi yaitu Dr. Yahya Adi Saputra, M.Hum., dengan didampingi dosen pengampu mata kuliah Bahasa dan Budaya Betawi Drs. Sam Mukhtar Chaniago, M.Si., serta Dr. Tuti Tarwiyah Adi dan didukung oleh pemaparan kelompok Sastra Lisan Budaya Betawi mahasiswa angkatan 2017. Pemaparan mahasiswa menjelaskan tentang jenis dan perkembangan sastra lisan betawi yang di dalamnya mengandung beberapa hal dalam koteks sastra lisan Betawi. Mahasiswa memaparkan beberapa hal terkait dengan sastra lisan yaitu palang pintu, sahubul hikayat, ngebuleng, majelis taklim, serta gambang rancang. Pada sesi ini, narasumber membenarkan dan meluruskan pemaparan mahasiswa dengan menampilan salindia terstruktur dengan menjelaskan detail hal-hal yang dipaparkan mahasiswa sebelumnya.

Menurut beliau, mengaji kuping kitab-kitab yang disampaikan dalam majelis taklim itu berupa arab gundul dalam bentuk pegon (aksara arab) juga bahasa jawi (kitab 20 sifat Allah). Majelis taklim dalam berbentuk teks tertulis. Beliau meragukan majelis taklim itu sebagai sastra lisan sebab bahan ajar tertulis yang sudah disampaikan sebelumnya dalam Al-kitab sehingga masih mempertanyakan dan meragukan majelis taklim bukanlah sebuah jenis sastra lisan.

Sastra lisan dalam bentuk mantra, mantra di sini berbentuk jampejampe dalam bahasa Betawi. Perkembangan rancang Betawi tidak hanya berbentuk rancang si pitung saja, dalam perkembangannya permainan rancag ini berfokus kepada hal-hal dari perkembangan zaman, dapat dari segi lingkungan, kebersihan atau dalam hal hidup hajat orang banyak dalam sebuah kemasyarakatan.

Sastra sebagai bagian dari pengetahuan untuk mengenal ilmu filsuf yaitu dulce et utile. Perkembangan sastra ini sebagai bagian dari kebutuhan mendasar manusia sebagai seseorang yang dapat menyenangkan banyak orang, menghibur seseorang, membahagiakan orang, serta jangan melupakan kebermanfaatan untuk masyarakat sendiri. Sastra sebagai upaya refleksi dalam menyikapi hidup serta mengambil segala hikmah hidup yang bermanfaat di dalamnya sebagai upaya untuk mewujudkan hidup yang punya makna.

Rancak Betawi sebagai bentuk pantun yang berkait, jadi dengan kata lain sastra lisan betawi tidak hanya menyangkut pantun saja, tetapi ada yang disebut dengan rancag, mengaitkan pantun sebab-akibat yang dilisankan. Rancak dalam hal ini menunjukkan sebuah fungsi yang efektif untuk melisankan sesuatu yang tidak hanya bertopik tetapi banyak hal yang bisa dibuat rancak seperti rancak yang direkam (terdokumentasi) dan tidak terdokumentasi sebagai warisan budaya tak benda. Rancak betawi ini sebagai bagian dari contoh di antaranya sedekah bumi dengan mantra jampe. Upacara yang dilakukan sedekah bumi yang biasanya jampe-jampenya menggunakan teks-teks islam. Dulu masih menggunakan jampe-jampe yang berupa kata-kata tidak dapat dijelaskan secara harfiah. Mantra yang digunakan itu sololekuie (bahasa gamang yang tidak bisa dijelaskan dan diucapkan) berupa gerendengan sebagai bentuk mantra yang menghubungkan antara manusia dengan dewi dewi penyelamat/ kesuburan.

Ada pula, palang pintu disampaikan dengan santun dengan bahasa arkais dulu disebut nyampun. Palang pintu sebagai sesuatu yang santun untuk menunjukkan komunikasi satu sama lain. Palang pintu adalah sebuah simbol simbol, dam keberangkatan itu disebut ngerudak.

Pada ngebuleng sendiri merupakan bentuk sastra lisan yang dikaitkan sebagai bagian dari bentuk kearifan lokal alam yang menghubungkan antara topeng betawi dengan musik betawi yang diawali dengan mantra pertunjukkan. Ngebuleng ini diiringi dengan rebana biang. Ngebuleng menggunakan bahasa lokal kental dalam wayang kulit (Rama) dan menggunakan bahasa Betawi pinggir. Warisan budaya tak benda menunjukkan apa yang menjadikan sastra lisan itu ada. Misalnya, dalam kebaya kerancang itu menunjukkan ide-ide kreatif yang dimunculkan harus melestarikan dengan cara merancang, mendesain, merekonstruksi, atau menciptakan kebudayaan dengan kebaya kerancag sebagai bagian dari upaya menjebatani pelestarian kebudayaan Betawi.

Pada kesempatan terakhir, narasumber menjelaskan akan pentingnya upaya pelestarian, konservasi, serta revitalisasi bagian situs budaya tak benda ini sebagai bagian untuk para generasi muda dalam melestarkan budaya tersebut sekaligus sebagai proses mencintai dan memanfaatkan warisan budaya untuk bergabung dan melestarikannya sebagai bagian dari pemaknaan bagian yang tidak luput dari perkembangan zaman serta teknologi. Edukasi untuk melestarikan konvervasi budaya Betawi ini perlu dilaksanakan sesuai dengan amanah Pergub DKI Jakarta agar kearifan daerah ini dapat terus berkembang serta membentuk sebuah perspektif positif untuk kaum generasi muda untuk mengenalkan budaya lokal Betawi secara intensif dan berkala sebagai proses dan didukung dari semua pihak dan masyarakat Betawi yang tinggal dalam lingkup kebudayaan Betawi di Jakarta. Sesi terakhir berupa tanya jawab sastra lisan dan foto bersama.